Oleh: Dwi Hartanto
(Sumber: Sabili No. 13 TH. XVI 15 Januari 2009 / 18 Muharram 1430, hal 99-101 Edisi Khusus “The Great Muslim Traveler”)
Enam abad atau tepatnya 603 tahun sebelum Columbus, penjelajah Islam sudah bolak-balik melakukan eksplorasi di Amerika. Bahkan, ada yang menetap dan menikah dengan penduduk lokal, menjadi bagian dari penduduk asli Amerika.
Sejarah memang milik penguasa. Ketika peradaban dan kekuasaan umat Islam mulai redup, seiring jatuhnya Granada di Spanyol, benteng terakhir umat Islam di Eropa, tahun 1492, pencapaian emas para ilmuwan dan penjelajah Muslim pun ikut dikubur dalam-dalam. Salah satunya adalah sejarah penemuan benua Amerika dan cikal bakal komunitas Muslim di daratan yang dihuni orang-orang Indian ini.
Akibatnya, selama ribuan tahun, sejarah dunia yang diajarkan di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi diputarbalikkan. Benua Amerika ditemukan oleh Christopher Columbus, 12 Oktober 1492. Bahkan ketika pertama kali menginjakkan kakinya di daratan yang ia sangka Semenanjung Hindia itu, Columbus menyebutnya sebagai The New World.
Tapi bagi umat Islam, Amerika bukanlah ‘Dunia Baru’, sebab 603 tahun sebelum Columbus, penjelajah Muslim dari Andalusia dan Afrika Barat telah membangun peradaban di benua itu. Mereka berasimiliasi secara damai, berdagang dan menikah dengan penduduk lokal, orang-orang Indian, menjadi bagian dari lokal genius Amerika. Menzies menulis, Zheng He (Cheng Ho), Laksamana Muslim dari Cina, juga telah mendarat di Amerika pada 1421 M, 71 tahun lebih awal ketimbang Columbus. Karenanya, klaim yang menyatakan Columbus sebagai penemu Amerika akhirnya pun patah.
Literatur yang menerangkan bahwa penjelajah Islam sudah menginjakkan kaki di Amerika beberapa abad sebelum Columbus juga cukup banyak. Salah satunya ditulis oleh pakar sejarah dan geografi Abul-Hasan Ali Ibnu al-Husain al-Masudi (871-975 M). Dalam bukunya, Muruj Adh-dhahab wa Maad al-Jawhar (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels—Hamparan Emas dan Tambang Permata), al-Masudi menulis, Khashkhash Ibnu Sa’ied Ibnu Aswad, seorang penjelajah Muslim dari Cordoba, ibukota Kekhalifahan Andalusia (Spanyol), berhasil mencapai benua Amerika pada 899 Masehi.
Al-Masudi menjelaskan, semasa pemerintahan Khalifah Abdullah Ibnu Muhammad (888-912 M) di Andalusia, Khashkhash berlayar dari Pelabuhan Delbra (Palos) pada 889 M menyeberangi Lautan Atlantik hingga mencapai sebuah negeri yang asing (al-ardh majhul). Sekembalinya dari benua yang sekarang disebut Amerika ini, Khashkhash membawa harta yang menakjubkan.
Sejak itulah, pelayaran menembus Samudera Atlantik yang saat itu dikenal sebagai “lautan yang gelap dan berkabut” itu banyak dilakukan pedagang dan ilmuwan Muslim. Al-Masudi juga menulis buku Akhbar as-Zaman yang memuat catatan pengembaraan pedagang Muslim ke kawasan Afrika dan Asia. (Al-Masudi, Muruj Adh-Dhahab, Vol 1, P 1385).
Literatur yang paling populer adalah essay Dr Youssef Mroueh dari Preparatory Commitee for International Festivals to Celebrate the Millenium of the Muslims Arrival to the Americas, tahun 1996. Dalam essay berjudul Precolumbian Muslims in Amerika (Muslim di Amerika Pra-Columbus), Dr Mroueh menunjukkan sejumlah fakta bahwa Muslimin dari Andalusia dan Afrika Barat tiba di Amerika sekurang-kurangnya 5 abad sebelum Columbus.
Pada pertengahan abad ke-10, pada masa pemerintahan Bani Umayyah, yaitu Khalifah Abdurrahman III (929-961 M), kaum Muslimin dari Afrika berlayar ke arah barat dari pelabuhan Delbra (Palos) di Spanyol menembus “samudera yang gelap dan berkabut”. Setelah menghilang beberapa lama, mereka kembali dengan sejumlah harta dari negeri yang “tak dikenal dan aneh”. Dalam pelayaran itu, ada sejumlah kaum Muslimin yang tinggal bermukim di negeri baru itu. Mereka inilah imigran Muslim gelombang pertama yang tiba di Amerika.
Dr Mroueh juga menulis, berdasarkan catatan ahli sejarah Abu Bakr Ibnu Umar al-Gutiyya, pada masa pemerintahan Khalifah Hisham II (976-1009 M) di Andalusia (Spanyol), penjelajah dari Granada bernama Ibnu Farrukh meninggalkan pelabuhan Kades, Februari 999 M. Farrukh melintasi Lautan Atlantik, mendarat di Gando (Kepulauan Canary) dan berkunjung pada Raja Guanariga. Ia melanjutkan pelayaran ke barat, melihat dua pulau dan menamakannya Capraria serta Pluitana. Ia kembali ke Andalusia, Mei 999 M.
Al-Syarif alIdrisi (1099-1166), pakar Geografi dan ahli pembuat peta, dalam bukunya yang berjudul Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Afaaq (Ekskursi dari yang Rindu Mengarungi Ufuq) menulis, sekelompok pelaut Muslim dari Afrika Utara berlayar mengarungi samudera yang gelap dan berkabut. Ekspedisi yang berangkat dari Lisbon (Portugal) ini, dimaksudkan untuk mendapatkan apa yang ada di balik samudera itu? Berapa luasnya dan di mana batasnya? Mereka pun menemukan daratan yang penghuninya bercocok tanam dan berkomunikasi dengan bahasa Arab.
Pelayaran melintasi Samudera Atlantik dari Maroko juga dicatat oleh penjelajah Shaikh Zayn-eddin Ali bin Fadhel al-Mazandarani. Kapalnya melepas jangkar dari pelabuhan Tarfay di Maroko pada masa Sultan Abu Yacob Sidi Youssef (1286-1307 M), penguasa keenam Kekhalifahan Marinid. Rombongan ekspedisi ini mendarat di Pulau Green di Laut Karibia pada 1291. Menurut Dr Mrouh, catatan perjalanan pelaut Maroko ini banyak dijadikan referensi oleh ilmuwan Islam pada era sesudahnya.
Sultan-sultan dari Kerajaan Mali di Afrika Barat yang beribukota di Timbuktu, juga melakukan penjelajahan hingga mendarat di benua Amerika. Sejarawan Chihab Addin Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl al-Umari (1300-1384 M) menulis catatan eksplorasi geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang, saat itu menjadi pusat peradaban, keilmuwan, dan perpustakaan yang maju di Afrika.
Ekspedisi darat dan laut banyak dilakukan orang termasuk umat Islam menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu. Sultan yang tercatat melakukan pengembaraan ke benua Amerika adalah Sultan Abu Bakari I (1285-1312 M). Sultan Abu Bakari adalah saudara dari Sultan Mansa Kankan Musa (1312-1337 M). Sultan Abu Bakari I melakukan dua kali ekspedisi menembus Lautan Atlantik dan mendarat di Amerika. Bahkan, penguasa Afrika Barat yang juga ilmuwan ini menyusuri sungai Mississippi untuk mencapai pedalaman Amerika Tengah dan Utara, tahun 1309-1312 M.
Selama di benua baru ini, para eksplorer tetap menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat. Dua abad kemudian, tepatnya tahun 1513 M, penemuan benua Amerika ini diabadikan dalam peta berwarna yang disebut Piri Re’isi. Peta ini dipersembahkan kepada Khalifah Ottoman, Sultan Selim I, tahun 1517 di Turki. Peta ini berisi informasi akurat tentang belahan bumi bagian barat, Amerika Selatan, benua Antartika, dan penggambaran pesisir Brazil yang detail.
Bukti Sejarah dan Arkeologis
Selain penjelajahan yang dilakukan kaum Muslimin, bukti sejarah dan arkeologis yang menerangkan kehadiran orang-orang Islam di Amerika jauh sebelum Columbus juga cukup banyak, di antaranya:
Pertama, dalam bukunya Saga America (New York, 1980), Dr Barry Fell, arkeolog dan ahli bahasa berkebangsaan Selandia Baru dari Harvard University menunjukkan bukti-bukti detail bahwa berabad-abad sebelum Columbus, telah bermukim kaum Muslimin dari Afrika Utara dan Barat di benua Amerika. Tak heran jika bahasa masyarakat Indian Pima dan Algonquain memiliki beberapa kosakata yang berasal dari bahasa Arab.
Di negara bagian Inyo dan California, Dr Barry menemukan beberapa kaligrafi Islam yang ditulis dalam bahasa Arab. Salah satunya bertuliskan “Yesus bin Maria” yang artinya “Isa anak Maria”. Kaligrafi ini tentu saja datang dari ajaran Islam yang hanya mengakui Nabi Isa sebagai anak manusia bukan anak Tuhan. Dr Barry juga percaya bahwa usia kaligrafi ini beberapa abad lebih tua dari usia negara Amerika Serikat.
Bahkan, Dr Fell menemukan reruntuhan, sisa-sisa peralatan, tulisan, diagram, dan beberapa ilustrasi pada bebatuan untuk keperluan pendidikan di sekolah Islam. Tulisan, diagram, dan ilustrasi itu merupakan mata pelajaran matematika, sejarah, geografi astronomi, dan navigasi laut. Semuanya ditulis dalam bahasa Arab Kufik, Afrika Utara.
Penemuan sisa-sisa sekolah Islam ini berada di barat Amerika seperti di Valley of Fire, Allan Springs, Logomarsino, Keyhole, Canyon, Washoe, Hickison Summit Pass (Nevada), Mesa Verde (Colorado), Mimbres Valley (New Mexico), dan Tipper Canoe (Indiana). Sekolah-sekolah Islam ini diperkirakan berfungsi pada tahun 700-800 M. Keterangan yang sama juga ditulis oleh Donald Gyr dalam bukunya yang berjudul Exploring Rock Art (Santa Barbara, 1989).
Kedua, dalam bukunya Africa and the Discovery of America (1920), pakar sejarah dari Harvard University, Loe Weiner, menulis bahwa Columbus sendiri sebenarnya juga mengetahui kehadiran orang-orang Islam yang tersebar di Karibia, Amerika Tengah, Utara, dan Selatan, termasuk Canada. Tapi tak seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak penduduk asli Amerika, umat Islam datang untuk berdagang, berasimilasi, dan melakukan perkawinan dengan orang-orang Indian dari suku Iroquois dan Algonquin. Columbus juga mengakui, dalam pelayaran antara Gibara dan Pantai Kuba, 21 Oktober 1492, ia melihat masjid berdiri di atas bukit dengan indahnya. Saat ini, reruntuhan masjid-masjid itu telah ditemukan di Kuba, Meksiko, Texas, dan Nevada.
Ketiga, John Boyd Thacer dalam bukunya Christopher Columbus yang terbit di New York, 1950, menunjukkan bahwa Columbus telah menulis bahwa pada hari Senin, 21 Oktober 1492, ketika sedang berlayar di dekat Gibara, bagian tenggara pantai Cuba, ia menyaksikan masjid di atas puncak bukit yang indah. Sementara itu, dalam rangkaian penelitian antroplogis, para antropolog dan arkeolog juga menemukan reruntuhan beberapa masjid dan menaranya serta ayat-ayat al-Quran di Cuba, Meksiko, Texas, dan Nevada.
Keempat, Clyde Ahmad Winters dalam bukunya Islam in Early North and South America, yang diterbitkan Al-Ittihad, Juli 1977, hal 60 menyebutkan, para antropolog yang melakuka