Al-Qurtubi menukil pendapat seorang ahli tafsir, Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusi, bahwa Nikah Mut’ah adalah “Seorang lelaki menikahi wanita dengan dua orang saksi dan izin wali hingga waktu tertentu, tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya. Si lelaki memberinya uang menurut kesepakatan keduanya. Apabila masanya telah berakhir, maka si lelaki tak mempunyai hak lagi atas si wanita, dan si wanita harus ber-istibra’/membersihkan rahimnya. Apabila tidak hamil, maka ia dihalalkan menikah lagi dengan lelaki lainnya.” Al-Qurtubhi mencela pendapat yang tidak mempersyaratkan adanya persaksian. Kata A-Qurthubi, “Hal itu adalah perzinaan. Sama sekali tidak dibolehkan dalam Islam.”